Lee Ji Eun [IU]
Ficlet
Aku terombang ambing, terbawa
arus yang membuatku bingung. Aku hanya .. Aku menginginkan .. Aku ingin es !
Suara dengingan serangga
begitu berisik, berbunyi diantara pepohonan lebat yang terhampar dihadapan
Jieun. Musim panas tahun lalu tak sepanas ini. Idenya untuk mengunjungi sang
paman didesa sepertinya tak ada hasilnya, didesa yang begitu banyak pohon seperti
ini pun, cuaca sangatlah panas. Jieun hanya tergeletak diteras kayu halaman
belakang rumah pamannya. Dress cokelat muda tanpa lengan itu tampak nyaman di
cuaca yang panas seperti sekarang.
Disaat libur datang, Jieun
selalu menyempatkan diri mengunjungi kampung halaman pamannya itu. Jieun merasa
berbeda saat disana, jauh berbeda saat ia dikota. Semuanya tampak mengalir,
didesa semuanya terlihat lebih sederhana dan simpel. Hal yang sulit ia temukan
saat dikota.
Paman Jieun datang dengan
membawa beberapa irisan semangka dipiring dan duduk disamping Jieun.
"Panas ya" Jieun
hanya mengangguk pelan tanpa bersuara.
"Cobalah, semangka ini
sangat manis" Jieun menoleh dan bangkit lalu duduk, mengambil salah satu
irisan semangka disampingnya. Terlihat menggiurkan, merah dan manis.
"Paman"
"Eoh ?"
"Kenapa paman tidak
mempunyai lemari pendingin"
"Haha .. " Jieun
kembali menoleh. Kenapa pamannya malah tertawa ? Apa ada yang lucu dengan
pertanyaannya. Ia sedang serius dengan pertanyaannya tau.
"Itu karena paman tak
memerlukannya"
"Apa paman tak memiliki
ambisi ?"
"Ambisi ?" Jieun
mengangguk.
"Ambisi itu tak berlaku
saat kita hidup didesa. Semua lebih sederhana dan mengalir apa adanya, setiap
orang pasti memiliki ambisi tapi orang di pedesaan hanya memikirkan hal-hal
yang sederhana. Mereka bahkan tak pernah mengeluh dengan kesederhanaan itu
justru mereka menikmatinya. Sekarang paman tanya, apa tujuan hidupmu ?"
Jieun terdiam sejenak.
"Entahlah .. " dan
paman Jieun tersenyum kecil Seraya mengacak rambut Jieun.
Hening ..
Jieun dan pamannya memakan
semangka seraya memandang halaman belakang rumah pamannya yang dipenuhi
sayuran, semak belukar lalu hutan dibelakangnya. Panas begitu terik namun tunas
baru dari sayur itu tak lelah untuk muncul. Serangga siap melahapnya,
meracuninya dan menghancurkannya tapi tunas akan tetap muncul. Beberapa menit
berlalu tanpa ada pembicaraan lagi, hanya suara dengingan serangga hutan yang
masih terdengar, sesekali angin menyapa bumi yang kepanasan. Memberikan setitik
surga. Membelai jiwa yang terbakar karena cuaca.
Jieun menggigit irisan ketiga
dari semangka itu. Memandangnya sejenak dan berfikir, semangka ini sangat manis
namun lalu ia terdiam. Mengalihkan pandangannya pada semut yang mengerubungi
tetesan air semangka yang tak sengaja Jieun jatuhkan.
"Paman"
"Hmm"
"Senin depan .. Mereka
akan benar-benar bercerai"
Paman Jieun menoleh,
memandang keponakannya yang masih memakan semangkanya seraya memandangi
kumpulan semut.
"Aku.. Tak bisa berbuat
apa-apa" lanjut Jieun.
"Jangan berbuat
apa-apa"
"Apa Maksudmu paman
?"
"Orangtua mu sudah
memutuskan hal itu jadi hormati saja keputusan mereka Ji"
"Tapi paman, apa mereka
tidak memikirkanku, apa aku tak berhak masuk kedalam urusan mereka"
"Semuanya tidak akan
berakhir jika kita terus bersikukuh, cukup terima saja dan luaskan hati untuk
mengakuinya"
"Andai mereka berfikir
seperti orang yang hidup didesa, berfikir secara sederhana dan simpel, mungkin tidak
akan seperti ini kejadiaannya"
"Setiap orang berbeda
Ji, memikirkan dan memaksakan kehendak kita hanya akan membuat kita semakin
kecewa yang tak berujung"
Jieun menghela nafas.
Andai setiap keluarga serukun
semut, tak pernah mengeluh dengan tugas masing-masing. Bekerja dengan segenap
hati untuk kelangsungan hidup telur-telur mereka kelak. Bahkan binatang lebih tahu apa itu arti keluarga dan kebersamaan.
Saat ayah Jieun di keluarkan
dari pekerjaannya, saat ibu Jieun menjadi tulang punggung keluarga, saat ayah
Jieun hanya berpangku tangan dan tak melakukan apapun, saat itulah semuanya
dimulai, pertengkaran yang membuat telinga Jieun pengang setiap malamnya.
Kaluarga kecilnya berubah menjadi drama pertengkaran tiada akhir. Menyisakan
gadis yang masih Smp menjalani hari-hari yang berat bahkan saat ia berada
dirumah. Dan gadis itu adalah Jieun.
Jieun adalah tunas, ia masih
rentan dan muda. Namun ia tidak boleh terpuruk. Ia harus seperti tunas yang
terus berusaha untuk menjulang tinggi dan menjadi pohon yang besar, yang kelak
akan melindungi dan menjadi rumah bagi burung. Juga bermanfaat untuk
sekelilingnya.
"Aku akan berusaha
paman, berusaha untuk menerima semua ini" paman Jieun tersenyum.
"Baiklah .. Paman akan
kerumah Jong Gyu untuk membeli es batu untukmu" ucap paman Jieun Seraya
bangkit dari duduknya.
"Wuaah paman ku daebak
!" Jieun tersenyum senang. Ia kembali memakan semangkanya dan memandang
jauh hamparan segala kehijauan dihadapannya.
Tapi kurasa semangka lebih
baik dari es saat musim panas.
Entah kenapa pikirannya itu
membuat ia melihat dari sudut pandang lain.
Sesuatu yang kau inginkan belum
tentu baik dan sesuatu yang tidak kau inginkan belum tentu buruk.
"itu terdengar
keren" gumam Jieun. Ia pun bangkit.
Kurasa bermain layangan
dengan Hyun Woo akan menjadi ide yang bagus untuk melewatkan liburan ku disini.
Jieun kembali tersenyum. Ia meninggalkan teras belakang menyisakan dua potong
irisan semangka yang mulai digerumuti semut.
Mungkin tidak akan mudah
melewati semua ini, tapi Jieun tidak boleh terpuruk terlalu lama karena masalah
keluarganya. Ia memang belum dewasa dan kadang kegelisahannya adalah sesuatu
yang wajar namun ia harus berbesar hati berusaha menerima semua itu karena akan
ada hikmah dari setiap kejadian. Yang akan menyadarkan kita jika Tuhan tidak
pernah meninggalkan hambanya barang sedetik pun.
The End
Comments
Post a Comment